Keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Off-Grid di Pedesaan

Pada salah satu seminar yang diadakan oleh Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada pada bulan April 2017 yang lalu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan pernyataan bahwa masih ada 2500 desa di Indonesia yang belum mendapatkan akses listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).  Sementara itu, sumber lain menyatakan bahwa menurut perhitungan PLN terdapat lebih dari sekitar 3900 desa yang belum memiliki akses terhadap listrik. Beberapa alasan yang kerap kali diutarakan adalah akses menuju desa yang cukup sulit hingga perhitungan jumlah pelanggan jika listrik masuk ke wilayah tersebut.

 

Kondisi ini tentu saja dipahami oleh pemerintah, sehingga dibuatlah Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016 – 2025 yang telah disahkan oleh Menteri ESDM melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5899 K/20/MEM/2016. Dalam RUPTL ini telah dijelaskan secara rinci mulai dari kondisi saat ini, proyeksi kebutuhan energi di masa yang akan datang, rencana pemenuhan energi hingga potensi yang dimiliki per wilayah dan per sumber energi. Secara terencana, PLN memiliki cara dan target untuk memenuhi kebutuhan listrik pedesaan yang hingga saat ini belum tersentuh listrik. Di sisi lain, paling tidak sejak tahun 2013, Kementerian ESDM membangun PLTS terpusat dengan daya 15 kWp telah terpasang di lebih dari 100 lokasi di Indonesia yang kemudian terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya untuk desa terpencil di Indonesia. Sayangnya salah satu kelemahan dari banyak pembangunan PLTS ini terdapat pada keberlanjutan sistem.

 

Masyarakat desa yang umumnya menjadi operator PLTS belum paham betul dengan sistem yang terpasang di desa mereka. Kurangnya pemahaman akan pentingnya mematuhi peraturan yang dibuat dan disepakati bersama mengenai jumlah energi yang disalurkan di tiap rumah, iuran per bulan yang harus dibayarkan, seringkali menjadi kendala utama sistem PLTS tidak beroperasi dengan baik setelah pembangunan selesai dilakukan. Keberadaan tenaga ahli di bidang PLTS yang juga memahami keadaan sosial masyarakat menjadi kebutuhan yang harus tersedia paling tidak di setiap provinsi. Sayangnya, hingga saaat ini tenaga ahli terkait dengan PLTS masih terpusat di Pulau Jawa.

 

Langkah pertama yang bisa dilakukan untuk menjaga keberlanjutan PLTS adalah dengan memetakan stakeholders di bidang PLTS. Jika para pemangku kepentingan yang sebelumnya tercerai-berai, terpisah dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, inilah saatnya para pemangku kepentingan duduk bersama untuk berdiskusi tidak hanya berbicara tentang rencana ke depan, tetapi juga keberlanjutan sistem yang telah dengan sengaja dibangun dengan tujuan memberikan akses listrik kepada masyarakat. Ketika para pemangku kepentingan, setidaknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengerti posisinya masing-masing, maka akan lebih memudahkan proses untuk menjaga sistem beroperasi dengan baik, tidak akan ada lempar tanggung jawab jika terjadi masalah di kemudian hari.

 

Keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan PLTS juga penting untuk menjaga sistem tetap dapat beroperasi setelah kontraktor pergi. Masyarakat yang terlibat, terlebih secara sukarela, akan merasa memiliki sistem yang ada di desa mereka. Adanya rasa memiliki membuat masyarakat bersedia merawat dan berhati-hati dalam memanfaatkan PLTS yang mereka miliki. Sebaliknya, jika masyarakat hanya mengetahui sistem sudah jadi dan mereka memiliki hak untuk menggunakan, tanpa sadar adanya kewajiban merawat sistem, niscaya keberlanjutan sistem tersebut tidak akan berlangsung lama.

 

Maka kini, di saat pemerintah menggenjot pembangunan pembangkit listrik di bidang energi terbarukan dengan biaya yang tidak sedikit, sudah saatnya pula dipikirkan keberlanjutan sistem untuk 5 tahun, 10 tahun hingga 20 tahun ke depan. Jika fokusnya masih pada pembangunannya saja seperti pada tahun-tahun sebelumnya, tanpa diimbangi dengan perawatan, bisa jadi dalam waktu dekat, PLTS yang telah dibangun ini hanya akan menjadi museum yang tak terawat.

 

Dwi Novitasari

(Mahasiswa s2 Jurusan Teknik Mesin, Konsentrasi Konversi Energi ITB)

Referensi:

[1] Agustinus,Michael; Bukan Hanya 2.500, Ternyata Ada 3.900 Desa Tak Berlistrik di RI; https://finance.detik.com/energi/3501710/bukan-hanya-2500-ternyata-ada-3900-desa-tak-berlistrik-di-ri

[2] PLN; RUPTL 2016-2015

[3] Hutapea,Maritje; Solusi Listrik off-grid Berbasis Energi Terbarukan di Indonesia: Kerangka Regulasi dan Program, 4 Februari 2016

[4] RE-Map Indonesia; EBTKE-GIZ; http://remap-indonesia.org/en/home