Permasalahan Seputar PLTMH

Keberadaan teknologi dalam kehidupan manusia selalu memiliki sisi baik dan buruk. Begitu pula dengan teknologi yang satu ini: Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Bukan termasuk teknologi yang terlalu canggih atau baru, tetapi bagi masyarakat yang awam, tetap tidak mudah untuk merawat dan membuatnya terus bekerja sesuai kegunaannya.

PLTMH merupakan “edisi” mikro dari pembangkit listrik tenaga air. Disebut mikro, karena pembangkit ini berkapasitas antara 0,5 – 100 kW. Bagi orang yang sudah berkecimpung di dunia energi, kelistrikan atau paling tidakmengerti  bagaimana energi potensial air dijatuhkan pada turbin untuk menghasilkan listrik, bukan hal yang sulit merawat sistem ini. Tetapi bagaimana jika yang menghadapi sistem ini adalah masyarakat desa di pedalaman Sulawesi, Sumatera, yang bahkan tidak pernah sekolah, tidak bisa membaca, dan harus memelihara PLTMH ini?

 

Pada tahun 2008, pemerintah memiliki program baru skala nasional, yang diberi nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Pedesaan (PNPM LMP). PNPM-LMP merupakan komponen pendukung ari PNPM-MP (Mandiri Pedesaan)yang telah dicanangkan pada tahun 2007. Kegiatan pada PNPM-LMP meliputi konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, peningkatan ekonomi masyarakat berbasis sumberdaya alam dan pengembangan energi terbarukan. Pemerintah bersama pemangku kepentingan pembangunan pedesaan telah menetapkan lokasi PNPM-LMP pada tahun 2008-2012 di 8 provinsi, masing-masing 4 provinsi di Sumatera dan 4 provinsi di Sulawesi. (http://www.pnpm-mandiri.org)

 

Bentuk implementasi PNPM-LMP ini memang langsung dari pemerintah ke desa-desa miskin yang juga telah ditentukan provinsinya. Tidak seperti pada PNPM-MP dimana masyarakat dan perangkat desa mengajukan ide untuk pembangunan desa mereka, bisa berupa perbaikan jalan desa, pembangunan pembangkit listrik, tergantung dari kebutuhan masing-masing desa. Dengan pendekatan yang berbeda, tentu saja memberikan hasil yang berbeda.

 

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengunjungi beberapa lokasi PLTMH yang dibangun oleh Program PNPM-LMP, program pemerintah lainnya, dan  yang dibangun oleh dana swadaya masyarakat sendiri. Lokasi yang saya kunjungi adalah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Tana Toraja serta Toraja Utara. Apa yang saya temukan di sana?

 

Beberapa lokasi terpilih yang akan saya kunjungi, ditentukan secara acak, sehingga saya tidak bisa memilih apakah ketika saya datang, PLTMH tersebut beroperasi atau justru sudah rusak. Di Mamasa, hanya 1 lokasi PNPM-LMP yang saya kunjungi dan lokasi tersebut memang menjadi lokasi terbaik yang saya datangi dalam kunjungan saya di Sulawesi. Saya katakan terbaik karena mulai dari rumah pembangkit hingga ke bendung, semuanya terawat. Tidak ada kerusakan yang terjadi. PLTMH tersebut mulai beroperasi sekitar bulan Mei 2012. Operator dan pengurus mengatakan mereka tidak pernah memiliki masalah dengan PLTMH yang telah dibangun. PLTMH ini terletak di Desa Ranteberang.

Rumah pembangkit PLTMH Desa Ranteberang, Mamasa, Sulawesi Barat

Sulawesi Barat memang merupakan provinsi baru yang sebelumnya tergabung dengan Sulawesi Selatan, sehingga bisa dikatakan masyarakatnya masih jauh dari kata sejahtera. Jalan provinsi di sana masih seperti jalan desa di Pulau Jawa,penuh lubang dan tergenang saat hujan turun.

 

Sebagian besar PLTMH yang saya kunjungi di Mamasa merupakan program dari PNPM-MP. Beberapa diantaranya masih berfungsi dengan baik hingga saat ini. Tetapi ada pula yang t terpengaruh dengan kondisi politik di Kabupaten Mamasa (Selama kunjungan saya, Kab. Mamasa akan melakukan pemilihan bupati). Saya menemukan 2 PLTMH yang sangat terpengaruh kepentingan politik. Artinya, masyarakat di desa tersebut terpecah dalam beberapa kepentingan yang kemudian saling mencurigai dan membiarkan PLTMH terbengkalai, tidak diperbaiki walaupun rusak bertahun-tahun.

 

PLTMH Desa Sasakan misalnya, PLTMH ini mulai beroperasi sejak tahun 2006 dan tidak lagi beroperasi sejak satu tahun yang lalu. Masalah utamanya adalah masyarakat yang memiliki lahan di tepi saluran air PLTMH menginginkan saluran dibeton agar aliran air tidak menggerus lahan mereka. Sejatinya, pengelola memiliki dana yang cukup untuk perlahan-lahan membangun beton yang diinginkan pemilik lahan. Pemilik lahan sendiri sebenarnya menikmati listrik dari PLTMH. Tetapi karena masyarakat yang terpecah dalam berbagai kepentingan, dalam setahun terakhir mereka tidak lagi peduli dengan keberlangsungan PTMH. Masyarakat lebih memilih kembali pada lentera dan genset daripada diajak berkumpul untuk musyawarah mufakat.

Generator PLTMH di Desa Sasakan, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat

Lain Mamasa, lain pula Tana Toraja dan Toraja Utara. Kabupaten Toraja Utara  termasuk kabupaten baru yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Tana Toraja. Justru di Toraja Utara saya mengunjungi 3 lokasi yang kesemuanya dibangun PNPM-LMP.. Disini , ada 1 lokasi yang tidak pernah mengoperasikan PLTMH-nya karena PLN telah sampai di desa mereka. Di lokasi lain, masih di Toraja Utara, pengguna listrik PLTMH hanya 13 KK. Hal ini juga disebabkan PLN telah hadir di desa mereka. Dari sini, bisa kita lihat bagaimana perencanaan pemerintah yang tidak sejalan antara satu instansi dan instansi lainnya. Sehingga, pembangunan yang bernilai ratusan juta terbengkalai begitu saja, bahkan tak terawat.

Bak penenang di Desa Ampang Batu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan yang tidak pernah beroperasi sejak selesai dibangun tahun 2012

Program PNPM ini sejatinya bertujuan baik, untuk mensejahterakan masyarakat di desa-desa terpencil yang belum terjangkau listrik. Tetapi lagi-lagi, masalah kesiapan masyarakat, pengembangan kompetensi di desa terpencil juga perlu mendapat perhatian khusus. Kerusakan mekanik, elektrikal bisa diselesaikan oleh teknisi, tetapi kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga sistem, merupakan hal penting yang perlu pemahaman sejak awal teknologi ini masuk ke desa mereka.

Dwi Novitasari