Tanah Kering Banyumeneng
Air adalah sumber kehidupan, darinya air menjadi kebutuhan primer manusia. Tanpanya, tak pernah ada kehidupan di dunia ini. Sejak janin berada dalam kandunganpun tak lepas dari kebutuhannya terhadap air. Pada saat si janin lahir, asupan utamanya adalah air.
Orang akan bertahan hidup lebih dari 2 minggu tanpa makanan, tapi orang tak akan mampu bertahan lebih dari 5 hari tanpa air. Air menjadi kebutuhan primer, tidak hanya dibutuhkan oleh tubuh tetapi juga dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan lain seperti mencuci, memasak, bercocok tanam, dll.
Padukuhan Banyumeneng, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang adalah salah satu daerah di kabupatem Gunung Kidul yang memiliki permasalahan pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Batuan dasar pembentuk tanah Banyumeneng adalah batu kapur yang membentuk kawasan karst. Pada wilayah ini banyak dijumpai sungai bawah tanah, sehingga tidak memungkinkan untuk pembuatan sumber air pribadi atau sumur. Saat musim hujan tiba, air hujan dapat ditampung dalam Penampungan Air Hujan (PAH) yang sangat sederhana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap air. Ketika air dalam PAH mengering akibat musim kemarau, masyarakat setempat harus berjuang untuk mengambil air ke sumber sungai bawah tanah dengan berjalan 3.2 km/hari atau menghabiskan setidaknya Rp 150.000,00 per bulan untuk membeli air. Sedangkan pendapatan mereka rata-rata hanya sekitar Rp 400.000,00 per bulan. Kekeringan yang melanda Gunung Kidul ini banyak membawa kerugian bagi masyarakat. Tidak hanya dampak ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat, tetapi juga dampak sosial berupa konflik horizontal akibat memperebutkan air.
Sempat Terinstal Pengangkatan Air Bertenaga Diesel
Daerah Banyumeneng sebenarnya memiliki sumber mata air Kaligede yang dapat dimanfaatkan sepanjang tahun. Seperti daerah Gunung Kidul lainnya, sumber ini berjarak cukup jauh dari permukiman warga, yaitu sekitar 2000 meter. Jauhnya akses sumber air dari rumah penduduk menyebabkan instalasi sistem listrik untuk pengangkatan air mengalami kesulitan.
Pada tahun 2000, dibangun sebuah sistem pompa air bertenaga diesel milik PDAM. Sayangnya, pembangunan sistem pompa ini belum sepenuhnya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat Banyumeneng I, II, dan III. Pada dasarnya, penggunaan bahan bakar fosil (solar) sebagai sumber energi pompa menjadi tantangan tersendiri. Selain jarak dari stasiun pengisian bahan bakar untuk membeli solar yang cukup jauh, medan yang dilalui truk bahan bakar menuju sumber air juga tidak memungkinkan. Alhasil, sistem pendistribusian yang digunakan adalah menggunakan selang dari jalan utama menuju ke tempat mesin berada. Sistem ini kemudian sering menimbulkan kebocoran selang karena selang tersebut banyak dilewati warga dan ternaknya menuju ke arah sumber.
Tidak hanya itu, warga yang sudah mendapatkan pasokan air dari PDAM pun harus menghemat penggunaan air karena PDAM tidak memasok air setiap hari, tetapi dilakukan secara bergilir. Belum lagi jauhnya jarak antara desa dengan pegawai operasional PDAM membuat sistem tersebut tidak berfungsi secara optimal.
Sumber Energi Matahari Sebagai Solusi
Berawal dari kepedulian dan semangat berbagi, komunitas mahasiswa sentra energi (Kamase) dari jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada mengagas sebuah konsep pengangkatan air bertenaga matahari di dusun Banyumeneng. Konsep pengangkatan air tersebut bertujuan untuk mengalirkan air dari sumber mata air ke pusat pemukiman penduduk. Gagasan ini kemudian diikutkan dalam kompetisi Mondialogo Engineering Award (MEA) tahun 2007 dan berhasil menyisihkan ratusan proposal yang datang dari seluruh penjuru dunia. MEA menjadi jalan pembuka untuk melengkapi sistem PDAM di Banyumeneng. Pendanaan yang diberikan oleh UNESCO sebesar 20.000 Euro menjadi jaminan berjalannya pembangunan sistem pengangkatan air.
Pemilihan sumber energi matahari untuk pompa air merupakan pilihan paling rasional. Laju penyinaran efektif matahari rataan mencapai 5.6 jam/hari sepanjang tahun. Instalasi dan sistem pompa tenaga surya yang dibangun juga tidak serumit mesin diesel, sehingga diharapkan mampu dijaga keberlanjutannya oleh masyarakat sekitar.
Pembangunan sistem pengangkatan air tenaga surya diawali dengan pembuatan sistem pengangkatan air dengan panel surya bertenaga 1200 wp. Daya tersebut kemudian mampu mengaliri 30 KK di dusun Banyumeneng I dengan debit rataan 5 kL/hari. Pembangunan instalasi SWPS ini dilakukan dengan kerja sama antara mahasiswa dengan warga setempat. Hal tersebut bertujuan untuk membangun rasa memiliki warga terhadap SWPS, sehingga SWPS dapat dijaga keberlanjutannya. Di sisi lain, pembangunan nonfisik SWPS dilakukan dengan memberikan pengajaran kepada warga mengenai komponen SWPS, sistem SWPS, cara pemeliharaan dan pengoperasian SWPS, serta petunjuk cara mengatasi kegagalan operasi SWPS. Pelatihan-pelatihan tersebut dilakukan pada anggota Organisasi Pengelola Air Kaligede (OPAKg) yang dibentuk oleh KKN tahun 2008. OPAKg merupakan organisasi yang beranggotakan warga Dusun Banyumeneng I dan beberapa warga dari Dusun Banyumeneng II dan III yang bertujuan untuk mengelola dan mengoperasikan SWPS di Dusun Banyumeneng I. Melalui program KKN selama tiga tahun berturut-turut pada tahun 2008-2010, sistem pengangkatan air tenaga surya akhirnya berhasil diimplementasikan dengan baik.
Kesuksesan pembangunan instalasi SWPS juga tidak lepas dari dukungan Satuan Kerja Penyediaan Air Minum (Satker PAM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukti keandalan SWPS di wilayah tersebut juga dibuktikan oleh tingkat kepuasan konsumen air di Dusun Banyumeneng I yang menyatakan ‘baik’. Penelitian tersebut dilakukan atas kerja sama antara Jurusan Teknik Fisika UGM dengan Universitas Dharma Persada dalam SEADI Project pada tahun 2011. Selanjutnya, konsumen air dari SWPS berharap bahwa SWPS dapat memompa air lebih banyak lagi, sehingga seluruh kebutuhan air per hari dapat dibeli dari OPAKg. Hal tersebut disebabkan karena selama ini SWPS hanya melayani sekitar 30 liter/hari, sementara kebutuhan air per hari penduduk rata-rata adalah sekitar 100 liter/hari, sehingga pada waktu itu masyarakat membeli air dari pedagang air keliling untuk memenuhi kekurangannya.
Tingginya keterikatan antara teknologi dan masyarakat kemudian menginisiasi alumni Kamase membentuk organisasi baru yang bernama Energi Bersih Indonesia (EnerBI). EnerBI berkomitmen melanjutkan semangat berbagi dengan mengimplementasikan teknologi-teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat. Tahun 2014, EnerBI berhasil menggandeng Alstom Foundation untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan sistem pengangkatan air bertenaga surya di Banyumeneng I. Tujuan dari project scale up SWPS ini adalah agar seluruh masyarakat Banyumeneng I mampu memenuhi kebutuhannya terhadap air tanpa harus berjalan sejauh 3,2 km lagi untuk mengambil air dari sumber. Panel surya bertenaga 1200 wp kemudian di kembangkan menjadi 8000 wp untuk mengalirkan air ke 90 KK dengan debit 23 kL/hari.
Project ini juga berkolaborasi dengan Kamase, OPAKg, dan Dinas PU untuk menjaga keberlanjutan dari sistem yang dibangun. Berikut merupakan konsep integritas dari seluruh penyusun sistem sosial.
» Alstom Foundation sebagai bentuk kepedulian Asltom kepada masyarakat global yang berperan sebagai donor baik materi maupun dukungan moril untuk memecahkan masalah sosial yang ada.
» EnerBI sebagai jembatan antara kebutuhan masyarakat, pengembangan ilmu pengetahuan dan intansi terkait baik pemerintahan maupun swasta yang memiliki kepedulian kepada masyarakat.
» Kamase sebagai wadah untuk melatih kepedulian mahasiswa kepada masyrakat dari sudut pandang yang berbeda dan menjadi agen sosial di masa mendatang yang memiliki kepedulian tinggi.
» OPAKg merupakan organisasi yang hadir dari kebutuhan masyarakat untuk mendistribusikan air secara merata dan menjaga keberlanjutan sistem.
» Satker IKK PU merupakan wujud kepedulian pemerintah untuk mengatasi masalah air, terutama di Yogyakarta.
» Pammaskarta merupakan wadah dari berbagai organisasi pengelola air se-DIY yang memiliki kerjasama langsung dengan Satker IKK PU.